Presentasiin Jamu di Forum Global? | Intan Ramaningtyas

Dari dapur kecil hingga panggung internasional, T&DON ngobrol bareng Intan Rahmaningtyas, Co-Founder Lestari Jamuku, berbagi kisahnya memperkenalkan jamu di forum global. Bagaimana strategi uniknya membuat jamu lebih dari sekadar minuman tradisional? Simak cerita lengkapnya di sini. Jadi, Apa Rasanya Presentasiin Jamu di Forum Global?


Dari Lestari Jamuku ke Forum Internasional

T& (T&DON): “Cerita dong gimana awalnya mba Intan bisa terpilih untuk presentasi tentang jamu di acara sebesar Youth CoLab Asia Pasifik ini?”

Intan Rahmaningtyas: “Dimulai dari social enterprise aku yang namanya Lestari Jamuku, mendapatkan Best Social Impact Award dari Youth:Co Lab led by UNDP Indonesia dan Citi, di tahun 2023.

“Nah, dari sana kita ikut beberapa program lanjutan. Sampai di Bulan Mei 2024, ada email yang isinya adalah undangan untuk kami berangkat mewakili Indonesia di Youth Co:Lab di Philippines.”

“Mereka tertarik lewat cerita-cerita soal urusan hulu ke hilir Jamu di Indonesia yang kami angkat.”

“Kaya cerita jamu sesimpel dari hulu– cara petani panen kunyit yang bener, alasan jamu gendong kenapa kebanyakan perempuan, sampai (di hilir) yang ternyata orang Kalimantan & Sumatera (walau sesama Indonesia)-- punya preferensi yang beda soal rasa jamu yang mereka kenal.”

 

T&: Dalam forum internasional kayak gini, gimana cara kamu bikin jamu lebih dari sekadar ‘minuman tradisional’? Ada treat tersendiri gak biar mereka jadi interesting?

“Pertama, Penampilan dan atribut menurut aku jadi interest unik pertama ketika sampai disana.”

IR: “Waktu pertama kali dipilih ngewakilin Indonesia, aku sadar banget berangkat dari “jamu” yang nggak kaya raya dari sekadar tradisi– tapi juga cerita. Aku berusaha menjadi aktor terbesar dari jamu selama ini, yaitu Jamu Gendong.

“Jadi, dari pakaian kebaya warnanya aku pilih mencolok dan selaras warna slide presentasi, kain batik, kain jarik’ (biasa dipakai untuk menggendong jamu) , sampai bakul jamu gendong aku bawa dan pakai disaat ada kesempatan apapun. Mau di meja booth, bahkan bakul jamu aku pakai sampai di panggung.”

“Kedua. Tentunya bawa jamu dan bahan-bahannya, haha!”

IR: “Semua jamu di masak di hotel, lalu di serving buat semua partisipan internasional sampai calon investor yang datang selama empat hari.”

“Beberapa menu jamu bahkan sampai di customize di hari kedua sampai keempat, berdasar feedback mereka di hari pertama.”

“Terakhir. Ga cuman presentasi, tapi ajak audiens berkenalan dengan jamu lewat keragaman ceritanya.”

IR: “Nah, waktu presentasi adalah gong nya nih. Jelasin “jamu” kan nggak gampang, ya. Beda kalau kita ngejelasin term tentang kopi, misal. Satu dunia kebanyakan sudah tau, lah. Kebetulan kita dapat dua kali kesempatan buat naik panggung.”

“Di kesempatan pertama, aku coba buat engage semua orang di ruangan buat bisa mengingat pengucapan kata ‘J-A-M-U’.”

Everyone, remember this word, it's about: J-A-M-U, J-A,M-U! ”

dan satu ruangan bisa ngulangin kata itu! Haha sampai-sampai semua orang nggak memanggil aku dengan nama, tapi memanggil dengan “hey, you from jamu” saking melekatnya.

 

IR: “Besar layar di ruangan itu mungkin sekitar 7 x 4 meter, super gede banget. Aku ngerasa ini kesempatan emas juga buat banyak bawa visual-visual keren tentang jamu

Kaya foto Jamu Gendong perempuan, proses masak jamu yang ternyata di gongso/sangrai atau bahasa inggrisnya “roasted”, foto petani yang panen jahe emprit, sampai foto orang Indonesia yang minum jamu.

Untuk buktiin ini beneran praktik ribuan tahun sehatnya orang Indonesia, tanpa pandang bulu kamu dari daerah mana dan berlatar belakang apa.

Accessible Wellness for everyone lah kita nyebutnya. Warna presentasi aku dominankan dengan warna mayoritas menu jamu - orange kunyit.”


IR: “Selain itu jadi kita nggak banyak jelasin definisi “jamu” tapi lebih ke banyak cerita, dari satu hal yang namanya Jamu, banyak orang yang akan terdampak.

Nah, aku dan teman-teman di Indonesia lagi proses buat melestarikannya. Itu seru dan berhasil narik atensi, daripada kita cuma maparin data terus.

Tiga hal itu menarik beberapa indera mereka ya, dari perasa, penciuman, sampai penglihatan.

Banyak yang seneng akhirnya minta kita cerita lebih banyak tentang jamu, dari lihat bakul dan penampilan ala jamu gendong jadi pengen coba jamu, dari coba jamu mereka jadi kasih feedback seru  dan cerita juga kalau ternyata relevan dengan tradisi herbal medicine di negaranya.

Bahkan beberapa partisipan minta untuk bawa pulang Jamu ke negara nya, dan tanya opportunity untuk ekspor produk jamu.”

 

T&: Penasaran, gimana cara kamu bikin mereka yang nonton merasa bahwa cerita soal jamu ini relevan buat mereka juga?

“Aku percaya sebenarnya setiap daerah dan negara akan selalu punya dua hal: tradisi turun temurun, dan herbal medicine khas negara masing-masing.”

- Intan Rahmaningtyas

IR: “Sebelum aku bahas jamu secara spesifik, aku sebut tentang “Ayuverda” dan “Traditional Chinese Medicine” sebagai herbal medicine yang khas dan lebih dikenal, lah di Asia Pasifik.

Nah, di Indonesia juga punya nih– namanya “Jamu”. Praktiknya lebih unik karena ada peran jamu gendong wanita didalamnya.”

Terus aku juga masukin perandaian, bahan bahan yang digunakan dalam pembuatan jamu

Kayak “Turmeric” seperti yang digunakan teman-teman dari India atau Ginger yang digunakan sama temen-temen dari Jepang, sambil lihat ke dua orang dari negara tersebut supaya semakin relate. 

Aku bener-bener scanning sebelum presentasi untuk liat dimana posisi mereka berada di ruangan haha Setelah keluar dari ruangan mereka bilang punya impresi yang tinggi banget sama aku dan Jamu karena merasa “disebut” dan terhubung. 

Menurutku titik puncak untuk bikin ini relevan adalah, aku sampaikan kalau semua orang pasti pengen sehat.

Tapi usaha buat bikin diri sehat itu seharusnya murah, mudah dan bisa diteruskan supaya semua orang bisa ngerasain.

Nah, dengan melestarikan, belajar dan tau herbal medicine/ tradisi  di daerahnya seperti jamu, kita jadi bisa mengupayakan sehat dari dapur sendiri juga.

 

T&: Ada rasa grogi gak mba? Dan gimana cara kamu nge tekel nya, meanwhile ini Presentasi di depan audiens multikultur

IR: “Grogi itu ada banget, bohong kalau engga haha. Walau sehari sebelumnya kita udah dikasih rehearsal sekalipun. Aku cuma takutnya nge-blank ya, tiba tiba. Apalagi nggak gampang improve di tempat karena bahasa yang dipakai ya Bahasa Inggris. Banyak istilah-istilah khusus berbahasa jawa/Indonesia yang harus di translate di kepala.” 

Cuma di panggung, aku suka mencari titik, atau beberapa orang yang akan jadi fokus penglihatan aku dari sudut satu ke sudut lainnya pas presentasi.

- Intan Rahmaningtyas

IR: “Selain itu ambil nafas! Ambil jeda sedikiit aja diantara kalimat bisa ngurangin perasaan grogi.”

Presentasi Jamu di Youth Co:Lab Summit 2024 di Filipina. Photo by: Intan Rahmaningtyas

 

T&: Kalau disuruh milih satu rasa atau filosofi jamu yang paling represent kamu sebagai presenter pas presentasi pada saat itu, kira-kira apa dan kenapa?

“Asam manis kali, ya. Kaya Kunyit asam haha rasa jamu kan sebenernya menggambarkan siklus kehidupan ya dari lahir sampai akhir hayat.

IR: “Hidup nggak cuma tentang manis saja, ada pahit, ada naik turun. Sebagai presenter aku bawa cerita yang ga asiknya aja, banyak banget masalah kaya bahan rempah jamu yang kebuang jadi sampah, atau jamu gendong yang sekarang keterbatasan akses pasar, sama keterbatasan pengetahuan tanaman obat yang baru. Banyak masalah, tapi sepaket dengan solusinya.”

 

T&: Kalau boleh kasih saran ke teman-teman yang mungkin mau presentasi di forum internasional, apa yang harus dipersiapkan banget versi kamu?

IR: “Buat siapapun yang mungkin akan bawa tema apapun yang berbau cultural, atau apapun yang belum tentu dunia tahu termsnya -

“kamu bisa coba untuk minta siapapun yang bukan orang Indonesia untuk jelasin ulang dan kasih pendapat tentang itu dalam bahasanya”

IR: “Karena ternyata dari sana aku banyak banget dapet hook keren-keren, kumpulan kalimat yang lebih mudah dan simpel untuk ngejelasin, dan visual yang mungkin bisa lebih engaging. Sisanya? Tell them your stories! Se autentik mungkin.”


Bukan hanya dipresentasikan, budaya akan lebih dihayati lewat kekuatan ceritanya. Menuturkan asal-usul jamu hingga memperkaya konteks lewat atribut yang digunakan Intan dalam forum global berhasil menggaet hati audiens terhadap kekayaan Indonesia ini.


Artikel ini adalah bagian dari seri wawancara eksklusif T&DON dengan para profesional yang berhasil meng-overcome berbagai tantangan dalam presentasi besar mereka.

Previous
Previous

Presenting at the World Youth Forum in Egypt? | Yuma Soerianto

Next
Next

Presentasi Untuk Para ‘Mami’? | dr. Natasya Ayu Andamari, SpA.