Presentasiin Logo IKN Nusantara? | Aulia Akbar

Dari research-based design ke presentasi di depan pemerintah, Aulia Akbar bawa logo IKN Nusantara ke panggung besar. Proses ini bukan cuma soal desain, tapi juga soal meramu narasi yang kuat dan meyakinkan di hadapan para pengambil keputusan. Jadi, apa rasanya presentasiin logo IKN Nusantara?


Untuk bisa menyentuh audiens, kita perlu cari hal yang cukup umum seperti nilai-nilai keseharian kita yang selalu taken for granted, namun sebenarnya kalau kita berhenti untuk menghayatinya, nilai tersebut sangatlah tinggi:

Keberagaman sebagai kekuatan.

 

T& (T&DON): Sekarang bisa dibilang logomu jadi bagian sejarah IKN Nusantara. Pas tahu desainnya kepilih, apa sih yang pertama kali dirasain?

AA (Aulia Akbar): Haha minder berat sih, sampe nangis 🤣. Maksudnya segala rasa itu berkecamuk.

Banyak pertanyaan seperti “is this real?”, “harus ngapain?”, bahkan kata-kata seperti “harus tanggung jawab sepenuhnya membawa karya” terus repetisi sampai sekarang.

“Kenapa bisa sampai seperti itu, mungkin karena dari awal saya bersama tim sudah ada di mindset bahwa kesempatan ini hanya untuk belajar, bukan untuk “menang” dalam apapun konteksnya.”

“Apalagi sebagai tim yang bisa dibilang muda, banyak sekali senior yang dalam prosesnya kita banyak tanya-tanya.”

“But most of all, rasa syukur ya. Karena saya pahami betul teman-teman dalam tim juga sangat berusaha keras dan saya jadi saksi untuk melihat dan rasakan itu semua.

Tapi bukan rasa syukur karena “seolah kerja keras lunas” ya, lebih kearah “syukur karena masih diberikan tantangan”.”



T&: Gimana persiapan presentasinya? Bukan cuma teknis desain, tapi juga gimana cara ngeyakinin mereka tentang nilai dan filosogi logo ini?

AA: “Harus presentasi dalam waktu 15 menit and it was the quickest yet straight-to-the-point presentation I’ve ever had in my entire career. Persiapannya cukup singkat sebenarnya, mengingat jarak waktu keseluruhan memang sangat padat. Maka dari itu, saya mempersiapkan materi yang cukup straight ke objektif rancangan, latihan kelancaran dan pelafalan, taking notes dan simplifikasi script supaya bisa cut bagian yang redundan dan yang dirasa cuman filler.”

“Saya pahami bahwa saya akan memaparkan gagasan ke orang-orang yang serba cepat seperti dari kurator-kurator ADGI, mas Wisnutama, dan jejeran pemerintah yang lain.”

“Maka dari itu, dengan berkaca dari pengalaman, saya dengan sederhana ingin recall sesuatu yang selama ini ada tapi mungkin jarang diperhatikan, maka dari itu, menurut saya materi jadi cukup efisien dalam menggambarkan “diri” sebagai manusia Nusantara yang pasti semua orang di Indonesia akan relate.



T&: Logo ini kan nggak cuma tentang visual, tapi juga simbol untuk masa depan. Gimana cara ngejelasin hal sebesar itu ke juri dengan cara yang tetap relatable?

AA: “Dalam budaya bekerja kita di kantor, presentasi itu hal yang sangat krusial.”

Kita punya banyak “istilah” dalam presentasi dan kita juga berkeharusan untuk mastering itu. karena ya, kalau sebuah studio itu ibarat sebuah band, presentasi adalah “manggung-nya”, dan desainer adalah “front man-nya”.

Bahkan, kita selalu men-sakral-kan yang namanya “slide hitam” yang biasanya dalam 1 deck itu hanya ada beberapa, karena di halaman hitam itulah semua hanya terpaku pada teks, pada konteks dan insight, sari-sari gagasan yang kita mau ajukan.

Sebagai seorang desainer, menurut saya sudah sepatutnya kita craft materi berdasarkan research, meskipun dengan cara penyampaian, orang sering bilang dan labeli itu sebagai “storytelling”—padahal itu adalah paparan research. Nah, menurutku ini yang perlu kita latih terus, mentransformasikan hal-hal “dingin” seperti paper research, journal, textbook, menjadi data “hangat” yang dengan ringan bisa dibicarakan.

Untungnya, ada pengalaman dan budaya kerja kita selama 9 tahun mengenai diskursus budaya, jadi kita merasa diuntungkan dengan adanya pengalaman itu karena sudah terakumulasi sampai titik presentasi identitas Nusantara itu ada.”

 
 

T&: Membawa desain ini ke panggung presentasi pasti bikin bangga, tapi juga pressure-nya tinggi banget. Gimana cara nge-manage itu semua supaya tetap bisa tampil maksimal?

AA: Haha grogi pastilah! Grogi maksimal malah! Haha. Tapi, saya selalu ingat dan punya perspektif bahwa

orang yang mau kita sampaikan materi itu sebenarnya penasaran juga dengan kita,

dan karena kita saling penasaran, saya selalu ingin bangun presentasi yang bernuansa intim, naratif, retorikal. Sehingga usai materi, kita bisa banget bahas materi bareng—open ended.

Gara-gara pertanyaan T&DON ini saya jadi ingat, dulu pernah mengurunkan niat untuk jadi desainer karena saya tidak bisa presentasi. Dulu saya kelewat introvert, gak bisa ngomong lancar.

Tapi berkat lingkungan yang suportif, mentor yang baik dalam belajar public speaking, dan beberapa baca buku, seperti Quiet karya Susan Cain, saya berusaha bangkit untuk overcome itu.

 

T&: Presentasi nggak cuma bawa bahan omongan, tapi juga bawa nuansa. Waktu itu, nuansa kayak apa sih yang pengen dikomunikasikan?

Vibe presentasinya sejalan dengan yang kami bawa ke semua klien, tapi dengan sentuhan materi yang lebih impresif.

Aulia Akbar

AA: Sepakat. Dalam membawakan sebuah presentasi, pembawaan dan atmosfir itu penting. Harus kondusif dan fokus.

Vibe yang ingin disampaikan sewaktu memaparkan gagasan mengenai identitas Nusantara itu sama dengan vibe dimana kita selalu berikan itu ke semua client kita, tapi tentunya dengan touch materi yang lebih impresif.

Hal tersebut kita bangun dari beragam temuan, yang kita arahkan kepada satu konklusi.

Darisana, vibe kita maksimalkan dalam bagaimana gagasan desain kita dapat diangkat

Dalam identitas Nusantara, kita sampaikan narasi plural-nya, mengenai kekuatan negara maritim, dan for most, penekanan mengenai kedaulatan sebuah simbol untuk Indonesia.

 

T&: Dari pengan pengalaman besar ini, apa pesan yang pengen disampein buat desainer lain? Khususnya mereka yang mungkin takut presentasiin ide mereka ke khalayak luas.

AA: Aku pikir desainer, khususnya Desain Komunikasi Visual, itu harus memahami dulu komunikasi at its core, apa pentingnya, dan apa kaitannya dengan desain.

“Buatku, intinya adalah bagaimana hal yang aku rasakan bisa orang rasakan juga.”

Make sense of things. Usaha ini memang sulit, tapi secara tidak sadar, seluruh komunikasi kita ke semua orang disekitar kita adalah medan latihan yang sebenarnya—dalam keseharian, dalam pertemuan apapun.

Merujuk tips teman saya di kantor, cobalah setelah membuat desain/logo/identitas, paparkan ke orang tua sendiri atau orang terdekat di tempat tinggal anda yang paling awam.

Dari sanalah kita akan memiliki sense of wonder mengenai bagaimana pentingnya kita berkomunikasi secara tepat. Diluar hal itu, latihan secara sadar juga penting, ikuti acara atau kelas atau seminar mengenai public speaking.

“Sebagai agen penanda zaman, desainer wajib memiliki social capital yang luas.”

Karena ini penting, bukan hanya dalam pekerjaan, tapi juga untuk berkehidupan sosial. Selalu ingat, kita berpraktik desain untuk orang lain, untuk suatu permasalahan, bukan untuk memuaskan diri kita sendiri atau desainer lainnya.

 

Yuma presented at World Youth Forum 2019 in Egypt. © Yuma Soerianto


Membangun hal besar seperti identitas masa depan, IKN perlu dimulai dari narasi visual berbasis riset. Dengan rasa bangga sekaligus tanggung jawab, Besot dan tim berhasil menyajikan gagasan desain Nusantara sebagai simbol maritim dan kekuatan bangsa Indonesia.


Artikel ini adalah bagian dari seri wawancara eksklusif T&DON dengan para profesional yang berhasil meng-overcome berbagai tantangan dalam presentasi penting dalam hidup mereka.

Previous
Previous

Presentasiin Rendang di Taiwan? | Narendra Archie Prameswara

Next
Next

Presenting at the World Youth Forum in Egypt? | Yuma Soerianto